Sabtu, 26 Oktober 2013

Makalah Pendidikan Agama “Jawaban Agama Atas Persoalan Kemanusiaan”



Makalah Pendidikan Agama
“Jawaban Agama Atas Persoalan Kemanusiaan”
*              Konsep dan Sejarah Agama
*             Kebutuhan Manusia Terhadap Agama
*     Jawaban Agama-Agama Atas Persoalan Kemanusiaan
                                      


·       Disusun oleh                          : 1. Dwi Mulyati
                                           2. Peni Guslianti
                                           3. Wati Dwi Jayanti

·       Kelas                                 : 1-L

·       Program Studi                         : Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD)

Universitas Muhammadiyah Prof. DR. Hamka (UHAMKA)
Tahun Akademik 2013/2014

Kata Pengantar
          Puji dan syukur kami panjatkan ke Hadirat Allah s.w.t. karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya kami dapat menyelesaikan Makalah ini dengan baik dan tepat waktu. 
Makalah ini dibuat berdasarkan apa yang telah kami ketahui dari berbagai sumber dan media yang mendukung. Juga tak lupa ucapan terimakasih ini kami berikan kepada pihak-pihak yang telah membantu untuk menyelesaikan Makalah yang berjudul  “Jawaban Agama Atas Persoalan Kemanusiaan”.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat dari makalah ini. Oleh karena itu kritik dan saran Pembaca kami harapkan untuk penyempuranaan Makalah selanjutnya. Akhir kata, semoga Makalah ini bisa arau dapat memberikan manfaat untuk kita semua.

Terimakasih dan Wassalamu’alaikum.

                                                  Jakarta, 15 Oktober 2013
                                                       Penulis

         

BAB I.
Pendahuluan

    1.1            Latar Belakang
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa di era dimana ilmu pengetahuan danteknologi berkembang pesat, banyak manusia yang terlena dengan kemegahan dunia. Bahkan nyaris tanpa ada aturan-aturan yang mengikat prilaku atau tindakannya. Apabila hal seperti itu tetap dibiarkan, maka tidak menuntut kemungkinan suatu saat manusia akan hidup bebas yang mengakibatkan manusia dalam hidupnya tidak berbeda dengan hewan.

 Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang terdiri dari jasmani dan ruhani. Manusia merupakan mahluk social yang hampir 100% aktifitasnya berkaitan dengan interaksi juga memiliki karakter, sifat, dan ciri yang berbeda. Oleh karena itu, di dalam interaksinya perlu adanya aturan yang mengatur agar tercipta suasana yang bias memahami setiap karakter dari masing-masing individu yang berinteraksi.

Sementara itu, agama pada umumnya memberikan penjelasan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki potensi untuk berakhlak baik atau buruk. Potensi buruk akan senantiasa eksis di dalam diri manusia karena terikat oleh aspek insting, naluri atau hawa nafsu.

         1.2       Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah munculnya Agama serta konsep Agama tentang manusia?
2. Mengapa manusia membutuhkan Agama?
3. Apa kesimpulan Agama dalam mengatasi persoalan kemanusiaan?

         1.3       Tujuan
     Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka secara umum tujuan dari makalah ini adalah:
1.   Untuk mengetahui sejarah munculnya Agama dan konsep Agama tentang manusia.
2.   Untuk menjelaskan kebutuhan manusia trehadap Agama.
3.   Untuk memberikan kesimpulan Agama dalam mengatasi persoalan kemanusiaan.

BAB II.
Pembahasan

Konsep dan Sejarah Agama
      A.  Apakah Agama Itu?
Ada tiga istilah yang dikenal berkenaan dengan agama, yaitu : agama, religi, dan din. Secara etimologi, kata agama berasal dari bahasa Sansakerta, yang berasal dari akar kata gam artinya pergi. Kemudian akar kata gam tersebut mendapat awalan a dan akhiran a, maka terbentuklah kata agama artinya jalan. Maksudnya, jalan untuk mencapai kebahagiaan. Di samping itu, ada pendapat yang menyatakan bahwa kata agama berasal dari bahasa Sangsekerta yang akar katanya adalah a dan agama. A artinya tidak dan gama artinya kacau. Jadi, agama artinya tidak kacau atau teratur. Maksudnya, agama adalah peraturan yang dapat membebaskan manusia dari kekacauan yang dihadapi dalam hidupnya, bahkan menjelang matinya.
Kata religi-religion dan religio, secara etimologi ̶̶̶̶̶̶ menurut Winkler Prins dalam Algemene Encyclopedie ̶̶̶̶̶̶̶̶̶  mungkin sekali berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata religere atau religare yang berarti terikat, maka dimaksudkan bahwa setiap orang yang senantiasa merasa terikat dengan sesuatu yang dianggap suci. Kalau dikatakan berasal dari kata religere yang berarti berhati-hati, maka dimaksud bahwa orang yang ber-religi itu adalah orang yang senantiasa bersikap hati-hati dengan sesuatu yang dianggap suci
Berdasarkan pengertian tersebut, maka pada istilah agama dan religi terdapat empat unsur penting, yaitu:
1. Tata pengakuan atau kepercayaan terhadap adanya sesuatu yang Agung,
2. Tata hubungan atau tata penyembahan terhadap sesuatu yang Agung itu dalam bentuk ritus, kultus dan pemujaan,
3. Tata kaidah/doktrin, sehingga muncul balasan berupa kebahagiaan bagi yang berbuat baik/jujur, dan kesengsaraan bagi yang berbuat buruk/jahat,
4. Tata sikap terhadap kehidupan dunia.

Selanjutnya, kata din ̶̶̶  secara etimologi ̶̶̶  berasal dari bahasa Arab, artinya: patuh dan taat, undang-undang, peraturan dan hari kemudian. Maksudnya, orang yang ber-din ialah orang yang patuh dan taat terhadap peraturan dan undang-undang Allah untuk mendapatkan kebahagiaan di hari kemudian.

Oleh karena itu, dalan din terdapat empat unsur penting, yaitu:
1. Tata pengakuan terhadap adanya suatu yang Agung dalam bentuk iman kepada Allah,
2. Tata hubungan terhadap sesuatu yang Agung tersebut dalam bentuk ibadah kepada Allah,
3. Tata kaidah/doktrin yang mengatur tata pengakuan dan tata penyembahan tersebut yang terdapat dalam Al-qur’an dan sunnah Nabi Muhammad SAW,
4. Tata sikap terhadap dunia dlaam bentuk takwa, yakni mempergunakan dunia sebagai sarana untuk mencapai kebahagiaan akhirat.

Sedangkan secara terminologi, agama, religi, din ialah suatu tata kepercayaan atas adanya yang Agung di luar manusia, dan suatu tata penyembahan kepada yang Agung tersebut, serta suatu tata kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan yang Agung, hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan alam yang lain, sesuai dengan tata kepercayaan dan tata penyembahan tersebut. Definisi lain menyebutkan: agama adalah sebuah sistem kepercayaan dan ritual yang mengikat orang-orang bersama-sama dalam sebuah kelompok sosial.
Pada definisi terakhir ada tiga hal penting yang perlu ditekankan, yaitu: kelompok sosial, kepercayaan dan ritual. Kepercayaan adalah keimanan pada sesuatu yang bersifat sakral, lawan dari profan. Sakral berarti ukhrawi, suci, keramat, atau kudus. Sakral adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang dianggap luar biasa, supernatural, transenden, dan berada di luar atas apa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Bagi umat Islam, sakral itu ada yang bersifat ghaib, seperti Allah SWT., malaikat, mukjizat Rasul-rasul terdahulu, surga-neraka, siksa kubur dan lain sebagainya. Umat muslim diwajibkan untuk mempercayainya. Ada juga yang suci dan keramat itu dikaitkan dengan benda-benda konkrit, seperti Al-qur’an, Masjid, Mekkah (tanah suci), Ka’bah, Hajar Aswad dan banyak lagi yang lainnya. Lawan dari sakral adalah profan. Profan berarti duniawi. Dalam ilmu-ilmu sosial, profan adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang tidak dianggap bersifat sakral.
            Oleh karena itu agama diberi definisi-definisi sebagai berikut:
   1. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi.
  2. Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia.
    3. Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia.
4. Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu.
5. Suatu sistem tingkah laku (code of conduct) yang berasal dari suatu kekuatan gaib.
6. Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiaban yang diyakini bersumber pada suatu kekuatan gaib.
7. Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia.
8. Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul.

     B. Sejarah Munculnya Agama
Sejarah munculnya agama sama tuanya dengan sejarah manusia. Adam yang oleh umat Islam diyakini sebagai manusia pertama adalah Nabi Allah, pembawa agama pertama di muka bumi.
1.  Agama Yahudi
Sejarah agama Yahudi berasal dari ajaran Nabi Ibrahim AS,  seorang Nabi yang juga diakui sebagai nabinya orang Kristen dan orang Islam. Nabi Musa AS adalah bapak yang sesungguhnya orang Yahudi. Ia pendiri sebenarnya sistem agama Yahudi.
Dalam Agama Yahudi, Nabi Isa AS dan Nabi Muhammad SAW tidak diakui oleh orang Yahudi sebagai pembawa pesan ilahi. Nabi Isa adalah orang Yahudi yang tidak terkenal. Ia berdakwah kepada bangsanya sendiri, bangsa Yahudi. Karena itu umat Nabi Isa AS (umat Kristen) adalah Yahudi sepenuhnya. Sulit untuk membedakan pengikut awal Kristen dengan orang-orang Yahudi yang taat.

2.  Agama Kristen
Istilah “Kristen” itu sendiri berasal dari kata Yunani,Christos. Sementara kata Chistos merupakan terjemahan dari bahasa Ibrani, Mesias. Mesias berarti juru selamat mereka yang diharapkan kedatangannya. Di kalangan umat Islam, kata itu diterjemahkan sengan “al-Masih”, sementara di kalangan umat Kristen diterjemahkan dengan “Kristus”.
 Ajaran Kristen tentang keesaan Tuhan selanjutnya berkembang menjadi ajaran Trinitas, yang mengakui adanya Tuhan Bapak, Tuhan Yesus, dan Ruh Kudus.

3.  Agama Islam
Ajaran Tuhan yang Esa,  yang dibawa Nabi Ibrahim AS lalu dilanjutkan oleh Nabi Muhammad SAW di tanah Mekkah. Ia mewarisi peninggalan Nabi Ibrahim AS, yaitu Ka’bah, yang dibangun bersama keluarganya di Mekah sebagai simbol pengagungan Keesaan Tuhan.
Kedatangan Nabi Muhammad SAW adalah untuk memurnikan keyakinan agama musyrik itu dengan tauhid bahwa tidak ada tuhan selain Allah (laa ilaaha illallah). Dengan demikian ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW adalah untuk membuang jauh-jauh keyakinan tentang adanya banyak tuhan dan menegaskan hanya ada satu Tuhan yaitu Allah SWT.


C. Konsep Manusia

1.      Konsep Manusia dalam Agama Yahudi
Agama Yahudi dianggap sebagai salah satu agama monotheis, yang menyatakan dirinya sebagai agama tertua di dunia ini dan berasal dari Nabi Ibrahim As.

Menurut agama yahudi manusia adalah:
1.  Makhluk yang mempunyai 2 sisi kelemahan dan keistimewaan.
2. Kehidupan manusia di dunia sangatlah hina jika di bandingkan kehidupan surgawi.
3. Manusia hidup di dunia sangatlah singkat.
4. Asal usul manusia sebenarnya sangat mulia,namun manusia sering kali terpelosok kedalam kehinaan.
5. Manusia adalah makhluk yang punya kehendak bebas serhingga ia dapat menentukan apa yang ia inginkan melalui usahanya.

2.      Konsep Manusia dalam Agama Kristen
Agama Katolik yang dimaksudkan adalah sebutan untuk agama Kristen yang berpusat di Vatikan,Roma. Agama katolik(katolikos: Yunani).Pengertian lain dari “Katolik” adalah nama bagi ajaran gereja yang dipandang “Benar”.

Menurut agama kristen manusia adalah:
1. Makhluk tuhan yang pada mulanya di ciptakan sesuai dengan gambar Allah ,
2. Tubuh dan jiwa manusia di ciptakan oleh tuhan.
3. Jiwa manusia itu berakal,dapat mengetahui,berkehendak dan dapat memilih dengan bebas.
4.  Jiwa itu berwujud ruh dan tak akan mati.
5. Ruh manusia sebagai ciptaan tuhan lebih tinggi kedudukan daripada ciptaan-ciptaan lainnya.
6.  Beban hidup di dunia adalah karunia ujian,sekaligus hukuman bagi manusia.



3.      Konsep Manusia dalam Agama Islam
Ada 4 kata yang digunakan untuk menunjukkan arti manusia dengan berbagai Implikasinya, yaitu:
        Kata Al insan atau an-nas jamaknya Unas, Al basyar(Semangat) dan Bani adam (Keturunan).

   Menurut agama islam, manusia adalah:
1. Makhluk yang terdiri dari jiwa/ ruh dan raga.
2. Raga besifat fana/rusak, sedangkan ruh senantiasa abadi,
3. Manusia di ciptakan Allah dari tanah selanjutnya dari air mani,
4. Manusia adalah makhluk yang paling mulia jika dibandingkan makhluk lain namun terkadang ia terpelosok kedalam kehinaan,
5. Kehidupan manusia di dunia hanyalah ujian untuk menggapai kehidupan kekal di akhirat.
6.  Manusia dalam hakikatnya selalu condong dalam kebaikan.


Kebutuhan Manusia Terhadap Agama

a. Aspek-Aspek Agama
Agama dan kehidupan beragama demikian kompleks, untuk memahami kehidupan beragama, diperlukan tentang aspek apasaja yang dimiliki oleh agama. Jawaban pertanyaan apa-apa saja aspek kehidupan beragama dapat saja berbeda satu sama lain diantara para ahli. Ada yang mengatakan bahwa agama hanya punya aspek kepercayaan kepada yang gaib (metafisika) dan ritual. Ada juga yang berpendapat bahwa yang penting diperhatikan dalam kehidupan beragama adalah simbol dan  tata perilaku.
Koentjaningrat menyebut aspek kehidupan beragama dengan komponen religi. Menurut beliau ada lima komponen atau aspek religi, yaitu:
   1.      Kepercayaan Kepada Kekuatan Gaib
Kepercayaan keagamaan dipusatkan atau didasarkan kepada kepercayaan kepadanya adanya kekuatan gaib, yaitu Tuhan yang berada di atas alam ini (supernatural), atau yang dibalik alam fisik (metafisika). Tuhan ,roh, tenaga gaib, mukjisat, alam gaib adalah hal-hal yang diluar alam nyata. Semuanya ini di atas (super,) atau di balik (meta) alam natural atau alam nyata. Kepercayaan kepada adanya kekuatan gaib merupakan inti kepercayaan keagamaan.
   2.      Sakral
Dalam kehidupan beragama juga ditemukan sikap mensakralkan sesuatu, baik tempat, buku, orang, benda tertentu, dan lain sebagainya. Sakral (sacred) berarti suci.
Menurut Derkheim, manusia dan masyarakat yang mempercayainya itu sajalah yang menjadikannya suci atau bertuah, tidak karena adanya sesuatu yang lain atau istimewa dalam benda tersebut. Anggapan atau kepercayaan sebagai yang suci ini datang dari subjek yang menganggap atau mempercayainya, tidak pada objek yang dipercayai sebagai yang suci.
            3.      Ritual
Kepercayaan kepada kesakralan sesuatu menuntut diperlakukan secara khusus. Ada upacara keagamaan dalam berhadapan dengan yang sakral. Perlakuan yang khusus inilah yang disebut ritual. Ritual berhubungan dengan kekuatan supernatural dan kesakralan sesuatu.
            4.   Umat Beragama
Agama tidak ada tanpa penganut dari umat tersebut. Komunitas penganut agama terdiri dari beberapa fungsi keagamaan. Ada yang memimpin upacara, ada yang harus berfungsi menyiapkan tempat dan alat upacara, dan sekaligus mereka menjadi peserta upacara.
    5.      Mistisme dan Kebatinan
Kalau supernatural dan skral adalah aspek keyakinan, ritual adalah aspek perilaku dari ajaran agama. Ketiganya menimbulkan kesan rasa atau penghayatan ruhaniah dalam diri
Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi perlunya manusia terhadap agama. Alasan-alasan tersebut secara singkat dapat dikemukakan sebagai berikut:

a. Fitrah Manusia
Dalam bukunya berjudul Perspektif Manusia dan Agama, Murthada Muthahhari mengatakan, bahwa di saat berbicara tentang para nabi, Imam Ali a.s. menyebutkan bahwa mereka diutus untuk mengingatkan manusia kepada perjanjian yang telah diikat oleh fitrah mereka, yang kelak mereka akan dituntut untuk memenuhinya. Perjanjian itu tidak tercatat di atas kertas, tidak pula diucapkan oleh lidah, melainkan terukir dengan  pena ciptaan Allah di permukaan kalbu dan lubuk fitrah manusia, dan di atas permukaan hati nurani serta di kedalaman perasaan batiniah.
Kenyataan bahwa manusia memiliki fitrah kegamaan tersebut di atas, untuk pertama kali ditegaskan dalam ajaran agama Islam, yakni bahwa agama adalah kebutuhan fitrah manusia. Sebelumnya manusia belum mengenal kenyataan ini. Baru di masa akhir-akhir ini, mucul beberapa orang yang menyerukan dan mempopulerkannya. Fitrah keagamaan yang ada dalam diri manusia inillah yang melatarbelakangi perlunya manusia pada agama. Oleh karenanya ketika datang wahyu Tuhan yang menyeru manusia agar beragama, maka seruan tersebutmemang amat sejalan dengan fitrahnya itu. Dalam konteks ini kita misalnya membaca ayat yang artinya:

Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. al-Rum [30]: 30).

Adanya potensi fitrah beragama yang terdapat pada manusia tersebut dapat pula dianalisis dari istilah ihsan yang digunakan al-Qur’an untuk menunjukkan manusia. Dengan mengacu kepada informasi yang diberikan al-Qur’an, Musa Asy’ari dalam bukunya Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an, samapai pada suatu kesimpulan bahwa manusia insan adalah manusia yang menerima pelajaran dari Tuhan tentang apa yang tidak diketahuinya. Manusia insan secara kodrati sebagai ciptaan Tuhan yang sempurna bentuknya dibandingkan dengan ciptaan Tuhan lainnya, sudah dilengkapi dengan kemampuan mengenal dan memahami kebenaran dan kebaikan yang terpancar dari cipataan-Nya. Lebih lanjut Musa Asy’ari mengatakan bahwa pengertian manusia yang disebut insan, yang dalam al-Qur’an dipakai untuk menunjukkan lapangan kegiatan manusia yang amat luas adalah terletak pada kemampuan menggunakan akalnya dan mewujudkan pengetahuan konseptualnya dalam kehidupan konkret. Hal demikian berbeda dengan kata basyar yang digunakan al-Qur’an untuk menyebut manusia dalam pengertian lahiriahnya yang membutuhkan makan, minum, pakaian, tempat tinggal, hidup, dan kemudian mati.

Informasi mengenai potensi beragama yang dimiliki manusia itu dapat pula dijumpai dalam ayat artinya sebagai berikut.
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)." (QS. al-A’raf [7]: 72)

Berdasarkan informasi tersebut terlihat dengan jelas bahwa manusia secara fitri merupakan makhluk yang memiliki kemampuan untuk beragama. Hal demikian sejalan dengan petunjuk Nabi dalam salah satu hadisnya yang mengatakan bahwa setiap anak yang dilahirkan memiliki fitrah (potensi beragama), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani, atau  Majusi.

Bukti bahwa manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi beragama ini dapat dilihat melalui bukti historis dan antropologis. Melalui bukti-bukti tersebut kita mengetahui bahwa pada manusia primitif yang kepadanya tidak pernah datang informasi mengenai Tuhan, ternyata mereka mempercayai adanya Tuhan, sungguhpun Tuhan yang mereka percayai itu terbatas pada daya khayalnya. Misalnya mereka mempertuhankan pada benda-benda alam yang menimbulkan kesan misterius dan mengagumkan. Kepercayaan demikian itu selanjutnya disebut agama dinamisme. Selanjutnya kekuatan misterius tersebut mereka ganti istilahnya dengan ruh atau jiwa yang memiliki karakter dan kecenderungan baik dan buruk dan kemudian mereka disebut agama animisme. Ruh dan jiwa itu selanjutnya mereka personifikasikan dalam bentuk dewa yang jumlahnya banyak dan selanjutnya disebut agama politeisme. Kenyataan ini menunjukkan bahwa manusia memiliki potensi bertuhan. Namun karena potensi tersebut tidak diarahkan, maka mengambil bentuk bermacam-macam yang keadaannya serba relatif. Dalam keadaan demikian itulah para Nabi diutus kepada mereka untuk menginformasikan bahwa Tuhan yang mereka cari itu adalah Allah yang memiliki sifat-sifat sebagaimana juga dinyatakan dalam agama yang disampaikan para Nabi. Untuk itu, maka jika seseorang ingin mendapatkan keagamaan yang benar haruslah melalui bantuan para Nabi. Kepada mereka itu, para Nabi menginformsikan bahwa Tuhan yang menciptakan mereka dan wajib disembah adalah Allah. Dengan demikian sebutan Allah bagi Tuhan, bukan hasil khayalan manusia, dan bukan pula hasil seminar, penelitian dan sebagainya. Sebutan atau nama Allah bagi Tuhan adalah disampaikan oleh Tuhan sendiri.

Informasi lainnya yang menunjukkan bahwa manusia memiliki potensi beragama dikemukakan oleh Carld Gustave Jung. Jung percaya bahwa agama termasuk hal-hal yang memang sudah ada di dalam bawah sadar secara fitri dan alami. Selanjutnya Einstein menyatkan adanya bermacam-macam kejiwaan yang telah menyebabkan pertumbuhan agama.Demikian pula bermacam-macam faktor telah mendorong berbagai kelompok manusia untuk berpegang teguh pada agama.

Adanya naluri beragama (bertuhan) tersebut lebih lanjut dapat semakin diperjelas jika kita mengakaji bidang tasawuf. Ketika kita mengkaji pahama hulul dari al-Hallaj (858-922 M.) misalnya kita jumpai pendapatnya bahwa pada diri manusia terdapat sifat dasar ke-Tuhanan yang disebut Lahut, dan sifat dasar kemanusiaan yang disebut Nasut. Demikian pula pada diri Tuhanpun terdapat sifat Lahut dan Nasut. Sifat Lahut Tuhan mengacau pada zat-Nya, sedangkan sifat Nasut Tuhan mengacu pada sifat-Nya. Semesntara itu sifat Nasut manusia mengacu kepada unsur lahiriah dan fisik manusia, sedangkan sifat Lahut manusia mengacu pada unsur batiniah dan ilahiah. Jika manusia mampu meredam sifat Nasutnya maka yang nampak adalah sifat Lahut­nya. Dalam keadaan demikian terjadilah pertemuan antara Nasut Tuhan dengan Lahut manusia, dan inilah yang dinamakan hulul.

Melalui uraian tersebut sampailah pada kesimpulan, bahwa latar belakang perlunya manusia pada agama adalah karena dalam diri manusia sudah terdapat potensi untuk beragama. Potensi beragama ini memerlukan pembinaan, pengarahan, dan pengembangan, dan seterusnya dengan cara mengenalkan agama kepadanya.

b.  Kelemahan dan Kekurangan Manusia
Faktor lainnya yang melatarbelakangi manusia memerlukan agama adalah karena disamping manusia memiliki berbagai kesempurnaan juga memiliki kekurangan. Hal ini antara lain diungkapkan oleh kata al-nafs. Menurut Quraish  Shihab, bahwa dalam pandangan al-Qur’an, nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna untuk berfungsi menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan, dan karena itu sisi dalam manusia inilah yang oleh al-Qur’an dianjurkan untuk diberi perhatian lebih besar. Misalnya disebutkan dalam al-Qur’an:
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” (QS. al-Syams [91]: 7-8)

Menurut Quraish Shihab bahwa kata mengilhamkan berarti potensi agar manusia melalui nafs menangkap makna baik dan buruk, serta dapat mendorongnya untuk melakukan kebaikan dan keburukan. Disini antara lain terlihat perbedaan pengertian kata ini menurut al-Qur’an dengan terminologi kaum Sufi, yang oleh al-Qusyairi dalam risalahnya dinyatakan bahwa nafs dalam pengertian sufi adalah sesuatu yang melahirkan sifat tercela dan perilaku buruk. Pengertian kaum Sufi tentang nafs ini sama dengan yang terdapat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang antara lain menjelaaskan bahwa nafs adalah dorongan hati yang kuat untuk berbuat yang kurang baik.
Selanjutnya Quraish Shihab mengatakan, walaupun al-Qur’an menegaskan bahwa nafs berpotensi positif dan negatif, namun diperoleh pula isyarat bahwa pada hakikatnya potensi positif manusia lebih kuat daripada potensi negatifnya, hanya saja daya tarik keburukan lebih kuat daripada daya tarik kebaikan. Sifat-sifat yang cenderung kepada keburukan yang ada pada manusia itu antara lain berlaku dzalim (aniaya), dalam keadaan susah payah (fi kabad), suka melampaui batas (anid), sombong(kubbar), inkar dan sebagainya. Karena itu manusia dituntut agar memelihara kesucian nafs ini manusia harus selalu mendekatkan diri pada Tuhan dengan bimbingan agama, dan di sinilah letaknya kebutuhan manusia terhadap agama.
Dalam literatur teologi Islam misalnya kita jumpai pandangan kaum Mu’tazilah yang rasionalis, karena banyak menadahulukan pendapat akal dalam memperkuat argumentasinya daripada pendapat wahyu. Namun demikian mereka sepakat bahwa manusia dengan akalnya memiliki kelemahan. Akal memang dapat mengetahui yang baik dan buruk, tetapi tidak semua yang baik dan buruk dapat diketahui akal. Dalam hubungan inilah, maka kaum Mu’tazilah mewajibkan pada Tuhan agar menurunkan wahyu dengan tujuan agar kekurangan yang dimiliki akal dapat dilengkapi dengan informasi yang datang dari wahyu (agama). Dengan demikian, Mu’tazilsh secara tidak langsung memandang bahwa manusia memerlukan wahyu.

c. Tantangan Manusia
Faktor lain yang menyebabkan manusia memerlukan agama adalah karena manusia dalam kehidupannya senantiasa menghadapi berbagai tantangan, baik yang datang dari dalam maupun dari luar. Tantangan dari dalam dapat berupa dorongan hawa nafsu dan bisikan setan (Lihat QS. 12:5; 17:53). Sedangkan tantangan dari luar dapat berupa rekayaa dan upaya-upaya yang dilakukan manusia yang secara sengaja berupaya ingin memalingkan manusia dari Tuhan. Mereka dengan rela mengeluarkan biaya, tenaga, dan pikiran yang dimanifestasikan dalam berbagai bentuk kebudayaan yang di dalamnya mengandung misi menjauhkan manusia dari Tuhan. Misalnya dalam QS. al-Anfal[8]:36 menjelaskan:
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah.”
Orang-orang kafir itu sengaja mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk mereka gunankan agar orang menngikuti keinginannya. Berbagai bentuk budaya, hiburan, obat-obat terlarang dan lain sebagainya dibuat dengan sengaja. Untuk itu maka upaya mengatasi dan membentengi manusia adalah dengan mengajar mereka agar taat menjalankan agama. Godaan dan tantangan hidup demikian itu, saat ini semakin menigkat, sehingga upaya mengagamakan masyarakat menjadi penting.

Jawaban Agama-Agama Besar Dunia Terhadap Persoalan Kemanusiaan
      Apakah bisa kita katakan bahwa pengalihan perhatian sebagian sarjana pada agama di luar agama resmi, seperti munculnya agama sipil (civil religion), merupakan cerminan adanya krisis pada agama? Apakah agama resmi yang ada sudah tidak mampu lagi memberikan rumusan jawaban bagi persoalan kemanusiaan seperti konflik agama, peperangan, klaim eksklusifisme kelompok, terorisme, kenakalan remaja atau juga masalah korupsi? Apakah adanya krisis agama lalu manusia memerlukan agama yang sama sekali baru, atau perlu adareinterpretasi ajaran agar bisa lebih membumi dan menzaman sesuai tuntutan manusia modern? Benarkah kata Durkheim bahwa “Tuhan yang dulu telah mati” yang beerarti mengisyaratkan perlu dicarikannya Tuhan baru? Pernyataan-pernyataan tersebut memerlukan perenungan mendalam dan uraian panjang guna menjabarkan jawabannya.
      Tetapi satu hal yang perlu dicatat, bahwa manusia harus memiliki pegangan hidup untuk menghadapi tantangan keras kehidupan yang muncul silih berganti mengganggu keyakinan dan keimanan mereka. Salah satu pegangan hidup itu adalah ajaran agama yang telah dibawa oleh para Nabi di berbagai periode zaman dan tempat. Selain membawa misi ilahiah, mereka juga membawa misi keselamatan, perdamaian dan persaudaraan.
      Agama-agama mengajarkan bahwa dalam kehidupan ini ada dua realitas yang secara ontologis berbeda, yakni, pertama adalah yang ilahi, absolut, kekal, mencita dan memerintah, dan kedua adalah yang material, manusiawi, diciptakan, tidak kekal dan tunduk pada perintah ilahhi. Realitas ini mengandaikan suatu kemutlakan hubungan antara realitas yang pertama dan realitas yang kedua sebagai sesuatu yang lumrah, apa adanya dan tak terhindarkan. Apa yang dikehendaki oleh Tuhan sang pencipta harus dilakukan oleh manusia sebagai makhluk-Nya. Tuhan menciptakan makhluk-Nya agar makhluk-Nya patuh kepada-Nya. Manusia diciptakan untuk tujuan ini, yakni mengabdi kepada Tuhan dan memuja-Nya. Inilah prinsip monoteistik: pengabdian semata-mata pada satu Tuhan oleh makhluk-Nya.
      Dengan konsep monoteistik ini, manusia harus belajar dari sejarah agama yahudi yang mengajarkan bahwa semua umat manusia memiliki kewarganegaraan sama di bawah hukum Ilahi, dan diumumkan secara resmi oleh raja negara-dunia, Hammurabi. Dngan ajaran ini, manusia pada hakikatnya adalah sama di mata Tuhan. Kekayaan, kebudayaan, bahasa, dan tradisi yang dimiliki segolongan tertentu manusia hanyalah pemanis hidup belaka, matapi hal terpenting adalah ketertarikannya secara ikhlas kepada Tuhannya.
      Sekiranya ajaran ini dapat menjadi sumber inspirasi hidup bagi setiap umat manusia, niscaya tak ada klaim-klaim golongan siapa yang paling hebat, kelompok mana yang paling maju, negara mana yang paling adidaya dan semua itu pada akhirnya hanya melahirkan pertentangan, peperangan, dan konflik. Karena dimata Tuhan semuanya adalah sama, yang berbeda adalah siapa yang paling tunduk, patuh dan berserah diri pada hukum-Nya. Seandainya ajaran monoteistik ini bisa meresap pada sanubari setiap manusia, maka prinsip kesetaraan (egalitarianisme) akan terwujud.
      Islam memang sedari awal Nabi Muhammad SAW sebagai ajaran pembawa Islam telah mendeklarasikan dirinya sebagai utusan Allah SWT untuk misi etis-keagamaan (inni buistu li utammima makaarima al-akhlaaq; aku diutus untuk menyempurnakan moral manusia). Misi etis-keagamaan mengisyaratkan bahwa perilaku kita sebagai manusia harus merefleksikan sifat-sifat ke-Ilahi-an dalam menjalani pergaulan hidup antar umat manusia. Begitulah Nabi Muhammad SAW memberi petunjuk “berakhlaklah kamu dengan akhlak Allah” (takhallaquu bi akhlaaqillaah), yaitu kita dianjurkan “meniru” sifat-sifat Allah.

BAB III.
Kesimpulan
 
            Beragama merupakan fitrah manusia. Agama muncul dan berkembang seiring dengan perkembangannya sejarah manusia. Kepercayaan manusia terhadap Tuhan bukanlah sifat lemah sebagaimana dituduhkan oleh paham matrealisme. Namun justru kebutuhan hakiki dan sumber kekuatan dalam menjalani kehidupan.
            Konsep manusia menurut agama sangat berbeda dengan konsep manusia modern. Agama mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh Tuhan. Ia berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya. Manusia terdiri dari aspek fisik dan aspek batin (ruh/jiwa) yang masing-masing kebutuhannya harus tercukupi. Mengabaikan salah satunya akan membuat manusia terasing dan mengalami kehampaan hidup.
            Menurut agama Islam, manusia adalah makhluk yang mulia. Manusialah satu-satunya makhluk Allah SWT yang ditunjuk sebagai wakil-Nya. (khalifah) di muka bumi. Untuk tugas ini, manusia diberi akal, satu kelebihan yang tak diberikan Allah kepada makhluk lain. Manusia yang baik adalah mereka yang mempu menjalankan tugas ini dengan baik. mereka adalah hamba-hamba yang taat kepada-Nya, menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Mereka adalah hamba-hamba yang senantiasa memenuhi kewajiban kepada Allah dan kepada sesama.

BAB IV.
Daftar Pustaka

1.  Peter L. Berger. 1994. Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial, Jakarta: LP3ES, cet. 2.
2.  Daniel L. Pals. 1996. Seven Theories og Religion, Jakarta: Qalam, h.279.
3.  Kautsar Azhari Noer, “Tradisi Monoteistik”, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Hoeve, tt, h. 52.
4.  Burhanudin Daya. 1988. “Agama Yahudi” dalam Djam’annuri (ed.), Agama-Agama di DuniaYogyakarta: PT Hanindita, h. 296.
5.  Huston Smith, Agama-Agama Manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, h. 311.
6.                                                                                                  M. Quraish Shihab. 1996.Wawasan al-Qur’an, Bandung: Mizan, h. 280.
7.  Razak Yusron, dan Tohirin. 2011.Pendidikan Agama Untuk Perguruan Tinggi dan Umum. Jakarta: Uhamka Press
8.  Sri Wulandari (2012). Sejarah Agama dan Konsep Manusia. From http://sriwulandari723.blogspot.com/2012/01/konsep-manusia-dalam-agama.html, 9 Oktober 2013.
9.  Uyyun Amila Faljariyanti (2011). Jawaban Agama-Agama atas Persoalan Manusia Modern. From http://uyyunamila.blogspot.com/search/label/Agama%20Islam, 9 Oktober 2013.
10.          Ridhol Hudaa (2012). Kebutuhan Manusia Terhadap Agama. From http://yuksmile.blogspot.com/2012/04/kebutuhan-manusia-terhadap-agama.html, 9 Oktober 2013.
11.          Bayu Trisusilo (2013). Kebutuhan Manusia Terhadap Agama. From http://anakstain.blogspot.com/2013/05/kebutuhan-manusia-terhadap-agama.html, 9 Oktober 2013.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar