Makalah Pendidikan Agama
“Jawaban Agama Atas Persoalan Kemanusiaan”
* Konsep dan
Sejarah Agama
* Kebutuhan
Manusia Terhadap Agama
* Jawaban Agama-Agama Atas Persoalan
Kemanusiaan
·
Disusun
oleh
: 1. Dwi Mulyati
2. Peni Guslianti
3. Wati Dwi
Jayanti
·
Kelas :
1-L
·
Program Studi
: Pendidikan Guru
Sekolah Dasar (PGSD)
Universitas Muhammadiyah Prof. DR. Hamka (UHAMKA)
Tahun Akademik 2013/2014
Kata Pengantar
Puji dan syukur kami panjatkan ke Hadirat Allah s.w.t. karena berkat limpahan
Rahmat dan Karunia-Nya kami dapat menyelesaikan Makalah ini dengan baik dan
tepat waktu.
Makalah ini dibuat berdasarkan apa
yang telah kami ketahui dari berbagai sumber dan media yang mendukung. Juga tak
lupa ucapan terimakasih ini kami berikan kepada pihak-pihak yang telah membantu
untuk menyelesaikan Makalah yang berjudul “Jawaban Agama Atas Persoalan
Kemanusiaan”.
Kami menyadari bahwa masih banyak
kekurangan yang terdapat dari makalah ini. Oleh karena itu kritik dan saran
Pembaca kami harapkan untuk penyempuranaan Makalah selanjutnya. Akhir kata,
semoga Makalah ini bisa arau dapat memberikan manfaat untuk kita semua.
Terimakasih dan Wassalamu’alaikum.
Jakarta, 15 Oktober 2013
Penulis
BAB I.
Pendahuluan
1.1 Latar
Belakang
Seperti yang
kita ketahui bersama bahwa di era dimana ilmu pengetahuan danteknologi berkembang pesat, banyak manusia yang terlena dengan kemegahan
dunia. Bahkan nyaris tanpa ada
aturan-aturan yang mengikat prilaku atau tindakannya. Apabila hal
seperti itu tetap dibiarkan, maka tidak menuntut kemungkinan suatu saat manusia akan hidup bebas yang
mengakibatkan manusia dalam hidupnya tidak berbeda dengan hewan.
Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang terdiri dari jasmani dan
ruhani. Manusia merupakan mahluk
social yang hampir 100% aktifitasnya berkaitan dengan interaksi juga memiliki
karakter, sifat, dan ciri yang berbeda. Oleh karena itu, di dalam interaksinya
perlu adanya aturan yang mengatur agar tercipta suasana yang bias memahami
setiap karakter dari masing-masing individu yang berinteraksi.
Sementara itu, agama pada umumnya memberikan
penjelasan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki potensi untuk berakhlak
baik atau buruk. Potensi buruk akan senantiasa eksis di dalam diri manusia
karena terikat oleh aspek insting, naluri atau hawa nafsu.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana
sejarah munculnya Agama serta konsep Agama tentang manusia?
2. Mengapa manusia
membutuhkan Agama?
3. Apa kesimpulan
Agama dalam mengatasi persoalan kemanusiaan?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka secara
umum tujuan dari makalah ini adalah:
1. Untuk
mengetahui sejarah munculnya Agama dan konsep Agama tentang manusia.
2. Untuk
menjelaskan kebutuhan manusia trehadap Agama.
3. Untuk
memberikan kesimpulan Agama dalam mengatasi persoalan kemanusiaan.
BAB II.
Pembahasan
Konsep dan
Sejarah Agama
A. Apakah Agama Itu?
Ada tiga
istilah yang dikenal berkenaan dengan agama, yaitu : agama, religi, dan din. Secara etimologi, kata agama berasal dari
bahasa Sansakerta, yang berasal dari akar kata gam artinya pergi. Kemudian akar kata gam tersebut mendapat awalan a dan akhiran a, maka terbentuklah
kata agama artinya jalan. Maksudnya,
jalan untuk mencapai kebahagiaan. Di samping itu, ada pendapat yang menyatakan
bahwa kata agama berasal dari bahasa
Sangsekerta yang akar katanya adalah a dan agama.
A artinya tidak dan gama artinya kacau. Jadi, agama artinya tidak kacau atau
teratur. Maksudnya, agama adalah peraturan yang dapat membebaskan manusia dari
kekacauan yang dihadapi dalam hidupnya, bahkan menjelang matinya.
Kata religi-religion dan religio, secara etimologi ̶̶̶̶̶̶ menurut
Winkler Prins dalam Algemene Encyclopedie
̶̶̶̶̶̶̶̶̶ mungkin sekali
berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata religere
atau religare yang berarti
terikat, maka dimaksudkan bahwa setiap orang yang senantiasa merasa terikat
dengan sesuatu yang dianggap suci. Kalau dikatakan berasal dari kata religere yang berarti berhati-hati, maka
dimaksud bahwa orang yang ber-religi itu adalah orang yang senantiasa bersikap
hati-hati dengan sesuatu yang dianggap suci
Berdasarkan
pengertian tersebut, maka pada istilah agama dan religi terdapat empat unsur
penting, yaitu:
1. Tata
pengakuan atau kepercayaan terhadap adanya sesuatu yang Agung,
2. Tata
hubungan atau tata penyembahan terhadap sesuatu yang Agung itu dalam bentuk
ritus, kultus dan pemujaan,
3. Tata
kaidah/doktrin, sehingga muncul balasan berupa kebahagiaan bagi yang berbuat
baik/jujur, dan kesengsaraan bagi yang berbuat buruk/jahat,
4. Tata sikap
terhadap kehidupan dunia.
Selanjutnya,
kata din ̶̶̶ secara etimologi ̶̶̶ berasal dari bahasa Arab, artinya: patuh dan taat, undang-undang,
peraturan dan hari kemudian. Maksudnya, orang yang ber-din ialah orang yang patuh dan taat terhadap peraturan dan
undang-undang Allah untuk mendapatkan kebahagiaan di hari kemudian.
Oleh karena
itu, dalan din terdapat empat unsur
penting, yaitu:
1. Tata
pengakuan terhadap adanya suatu yang Agung dalam bentuk iman kepada Allah,
2. Tata hubungan
terhadap sesuatu yang Agung tersebut dalam bentuk ibadah kepada Allah,
3. Tata
kaidah/doktrin yang mengatur tata pengakuan dan tata penyembahan tersebut yang
terdapat dalam Al-qur’an dan sunnah Nabi Muhammad SAW,
4. Tata sikap terhadap
dunia dlaam bentuk takwa, yakni mempergunakan dunia sebagai sarana untuk
mencapai kebahagiaan akhirat.
Sedangkan secara terminologi, agama, religi, din ialah suatu tata kepercayaan atas
adanya yang Agung di luar manusia, dan suatu tata penyembahan kepada yang Agung
tersebut, serta suatu tata kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan yang
Agung, hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan alam yang
lain, sesuai dengan tata kepercayaan dan tata penyembahan tersebut. Definisi lain
menyebutkan: agama adalah sebuah sistem kepercayaan dan ritual yang mengikat
orang-orang bersama-sama dalam sebuah kelompok sosial.
Pada definisi terakhir ada tiga hal penting yang perlu
ditekankan, yaitu: kelompok sosial, kepercayaan dan ritual. Kepercayaan adalah
keimanan pada sesuatu yang bersifat sakral, lawan dari profan. Sakral berarti
ukhrawi, suci, keramat, atau kudus. Sakral adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan sesuatu yang dianggap luar biasa, supernatural, transenden, dan
berada di luar atas apa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Bagi umat
Islam, sakral itu ada yang bersifat ghaib, seperti Allah SWT., malaikat,
mukjizat Rasul-rasul terdahulu, surga-neraka, siksa kubur dan lain sebagainya.
Umat muslim diwajibkan untuk mempercayainya. Ada juga yang suci dan keramat itu
dikaitkan dengan benda-benda konkrit, seperti Al-qur’an, Masjid, Mekkah (tanah
suci), Ka’bah, Hajar Aswad dan banyak lagi yang lainnya. Lawan dari sakral
adalah profan. Profan berarti duniawi. Dalam ilmu-ilmu sosial, profan adalah
istilah yang digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang tidak dianggap bersifat
sakral.
Oleh karena itu agama diberi definisi-definisi sebagai berikut:
1.
Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus
dipatuhi.
2.
Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia.
3. Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada
suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan yang mempengaruhi
perbuatan-perbuatan manusia.
4. Kepercayaan
pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu.
5. Suatu sistem
tingkah laku (code of conduct) yang berasal dari suatu kekuatan gaib.
6. Pengakuan
terhadap adanya kewajiban-kewajiaban yang diyakini bersumber pada suatu kekuatan
gaib.
7. Pemujaan
terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut
terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia.
8.
Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul.
B. Sejarah Munculnya Agama
Sejarah munculnya agama sama tuanya dengan sejarah manusia. Adam yang
oleh umat Islam diyakini sebagai manusia pertama adalah Nabi Allah, pembawa
agama pertama di muka bumi.
1. Agama Yahudi
Sejarah agama Yahudi berasal dari ajaran Nabi Ibrahim AS, seorang
Nabi yang juga diakui sebagai nabinya orang Kristen dan orang Islam. Nabi Musa
AS adalah bapak yang sesungguhnya orang Yahudi. Ia pendiri sebenarnya sistem
agama Yahudi.
Dalam Agama Yahudi, Nabi Isa AS dan Nabi Muhammad SAW tidak diakui oleh
orang Yahudi sebagai pembawa pesan ilahi. Nabi Isa adalah orang Yahudi yang
tidak terkenal. Ia berdakwah kepada bangsanya sendiri, bangsa Yahudi. Karena
itu umat Nabi Isa AS (umat Kristen) adalah Yahudi sepenuhnya. Sulit untuk
membedakan pengikut awal Kristen dengan orang-orang Yahudi yang taat.
2. Agama Kristen
Istilah “Kristen” itu sendiri berasal dari kata Yunani,Christos. Sementara
kata Chistos merupakan terjemahan dari bahasa Ibrani, Mesias. Mesias berarti
juru selamat mereka yang diharapkan kedatangannya. Di kalangan umat Islam, kata
itu diterjemahkan sengan “al-Masih”, sementara di kalangan umat Kristen
diterjemahkan dengan “Kristus”.
Ajaran Kristen tentang keesaan Tuhan selanjutnya berkembang menjadi ajaran
Trinitas, yang mengakui adanya Tuhan Bapak, Tuhan Yesus, dan Ruh Kudus.
3. Agama Islam
Ajaran Tuhan yang Esa, yang dibawa Nabi
Ibrahim AS lalu dilanjutkan oleh Nabi Muhammad SAW di tanah Mekkah. Ia mewarisi
peninggalan Nabi Ibrahim AS, yaitu Ka’bah, yang dibangun bersama keluarganya di
Mekah sebagai simbol pengagungan Keesaan Tuhan.
Kedatangan Nabi Muhammad SAW adalah untuk
memurnikan keyakinan agama musyrik itu dengan tauhid bahwa tidak ada tuhan
selain Allah (laa ilaaha illallah). Dengan demikian ajaran Islam yang
dibawa Nabi Muhammad SAW adalah untuk membuang jauh-jauh keyakinan tentang
adanya banyak tuhan dan menegaskan hanya ada satu Tuhan yaitu Allah SWT.
C. Konsep Manusia
1. Konsep Manusia dalam
Agama Yahudi
Agama Yahudi
dianggap sebagai salah satu agama monotheis, yang menyatakan dirinya sebagai
agama tertua di dunia ini dan berasal dari Nabi Ibrahim As.
Menurut agama
yahudi manusia adalah:
1.
Makhluk yang mempunyai 2 sisi kelemahan dan keistimewaan.
2. Kehidupan manusia
di dunia sangatlah hina jika di bandingkan kehidupan surgawi.
3. Manusia
hidup di dunia sangatlah singkat.
4. Asal usul
manusia sebenarnya sangat mulia,namun manusia sering kali terpelosok kedalam
kehinaan.
5. Manusia
adalah makhluk yang punya kehendak bebas serhingga ia dapat menentukan apa yang
ia inginkan melalui usahanya.
2. Konsep Manusia dalam
Agama Kristen
Agama Katolik
yang dimaksudkan adalah sebutan untuk agama Kristen yang berpusat di
Vatikan,Roma. Agama katolik(katolikos: Yunani).Pengertian lain dari “Katolik”
adalah nama bagi ajaran gereja yang dipandang “Benar”.
Menurut agama
kristen manusia adalah:
1. Makhluk
tuhan yang pada mulanya di ciptakan sesuai dengan gambar Allah ,
2. Tubuh dan
jiwa manusia di ciptakan oleh tuhan.
3. Jiwa manusia
itu berakal,dapat mengetahui,berkehendak dan dapat memilih dengan bebas.
4. Jiwa
itu berwujud ruh dan tak akan mati.
5. Ruh manusia
sebagai ciptaan tuhan lebih tinggi kedudukan daripada ciptaan-ciptaan lainnya.
6. Beban
hidup di dunia adalah karunia ujian,sekaligus hukuman bagi manusia.
3. Konsep Manusia dalam
Agama Islam
Ada 4 kata yang
digunakan untuk menunjukkan arti manusia dengan berbagai Implikasinya, yaitu:
Kata Al insan atau an-nas jamaknya Unas, Al basyar(Semangat) dan Bani adam
(Keturunan).
Menurut agama islam, manusia adalah:
1. Makhluk yang
terdiri dari jiwa/ ruh dan raga.
2. Raga besifat
fana/rusak, sedangkan ruh senantiasa abadi,
3. Manusia di
ciptakan Allah dari tanah selanjutnya dari air mani,
4. Manusia
adalah makhluk yang paling mulia jika dibandingkan makhluk lain namun terkadang
ia terpelosok kedalam kehinaan,
5. Kehidupan
manusia di dunia hanyalah ujian untuk menggapai kehidupan kekal di akhirat.
6.
Manusia dalam hakikatnya selalu condong dalam kebaikan.
Kebutuhan
Manusia Terhadap Agama
a. Aspek-Aspek Agama
Agama dan kehidupan beragama demikian kompleks, untuk memahami kehidupan
beragama, diperlukan tentang aspek apasaja yang dimiliki oleh agama. Jawaban pertanyaan
apa-apa saja aspek kehidupan beragama dapat saja berbeda satu sama lain
diantara para ahli. Ada yang mengatakan bahwa agama hanya punya aspek
kepercayaan kepada yang gaib (metafisika) dan ritual. Ada juga yang berpendapat
bahwa yang penting diperhatikan dalam kehidupan beragama adalah simbol
dan tata perilaku.
Koentjaningrat menyebut aspek kehidupan beragama dengan komponen religi.
Menurut beliau ada lima komponen atau aspek religi, yaitu:
1. Kepercayaan Kepada Kekuatan Gaib
Kepercayaan keagamaan dipusatkan atau didasarkan kepada kepercayaan
kepadanya adanya kekuatan gaib, yaitu Tuhan yang berada di atas alam ini
(supernatural), atau yang dibalik alam fisik (metafisika). Tuhan ,roh, tenaga
gaib, mukjisat, alam gaib adalah hal-hal yang diluar alam nyata. Semuanya ini di atas (super,) atau di balik
(meta) alam natural atau alam nyata. Kepercayaan kepada adanya kekuatan gaib
merupakan inti kepercayaan keagamaan.
2.
Sakral
Dalam kehidupan beragama juga ditemukan sikap mensakralkan sesuatu, baik
tempat, buku, orang, benda tertentu, dan lain sebagainya. Sakral (sacred)
berarti suci.
Menurut Derkheim, manusia dan masyarakat yang mempercayainya itu sajalah
yang menjadikannya suci atau bertuah, tidak karena adanya sesuatu yang lain atau
istimewa dalam benda tersebut. Anggapan atau kepercayaan sebagai yang suci ini
datang dari subjek yang menganggap atau mempercayainya, tidak pada objek yang
dipercayai sebagai yang suci.
3. Ritual
Kepercayaan kepada kesakralan sesuatu menuntut diperlakukan secara khusus.
Ada upacara keagamaan dalam berhadapan dengan yang sakral. Perlakuan yang
khusus inilah yang disebut ritual. Ritual berhubungan dengan kekuatan
supernatural dan kesakralan sesuatu.
4. Umat Beragama
Agama tidak ada tanpa penganut dari umat tersebut. Komunitas penganut agama
terdiri dari beberapa fungsi keagamaan. Ada yang memimpin upacara, ada yang
harus berfungsi menyiapkan tempat dan alat upacara, dan sekaligus mereka
menjadi peserta upacara.
5. Mistisme dan
Kebatinan
Kalau supernatural dan skral adalah aspek keyakinan, ritual adalah aspek
perilaku dari ajaran agama. Ketiganya menimbulkan kesan rasa atau penghayatan
ruhaniah dalam diri
Ada beberapa
alasan yang melatarbelakangi perlunya manusia terhadap agama. Alasan-alasan
tersebut secara singkat dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Fitrah Manusia
Dalam bukunya
berjudul Perspektif Manusia dan Agama, Murthada Muthahhari mengatakan, bahwa di
saat berbicara tentang para nabi, Imam Ali a.s. menyebutkan bahwa mereka diutus
untuk mengingatkan manusia kepada perjanjian yang telah diikat oleh fitrah
mereka, yang kelak mereka akan dituntut untuk memenuhinya. Perjanjian itu tidak
tercatat di atas kertas, tidak pula diucapkan oleh lidah, melainkan terukir
dengan pena ciptaan Allah di permukaan kalbu dan lubuk fitrah manusia,
dan di atas permukaan hati nurani serta di kedalaman perasaan batiniah.
Kenyataan bahwa
manusia memiliki fitrah kegamaan tersebut di atas, untuk pertama kali
ditegaskan dalam ajaran agama Islam, yakni bahwa agama adalah kebutuhan fitrah
manusia. Sebelumnya manusia belum mengenal kenyataan ini. Baru di masa
akhir-akhir ini, mucul beberapa orang yang menyerukan dan mempopulerkannya. Fitrah
keagamaan yang ada dalam diri manusia inillah yang melatarbelakangi perlunya
manusia pada agama. Oleh karenanya ketika datang wahyu Tuhan yang menyeru
manusia agar beragama, maka seruan tersebutmemang amat sejalan dengan fitrahnya
itu. Dalam konteks ini kita misalnya membaca ayat yang artinya:
“Maka
hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.” (QS. al-Rum [30]: 30).
Adanya potensi
fitrah beragama yang terdapat pada manusia tersebut dapat pula dianalisis dari
istilah ihsan yang digunakan al-Qur’an untuk menunjukkan manusia. Dengan
mengacu kepada informasi yang diberikan al-Qur’an, Musa Asy’ari dalam bukunya Manusia
Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an, samapai pada suatu kesimpulan bahwa
manusia insan adalah manusia yang menerima pelajaran dari Tuhan tentang
apa yang tidak diketahuinya. Manusia insan secara kodrati sebagai
ciptaan Tuhan yang sempurna bentuknya dibandingkan dengan ciptaan Tuhan
lainnya, sudah dilengkapi dengan kemampuan mengenal dan memahami kebenaran dan
kebaikan yang terpancar dari cipataan-Nya. Lebih lanjut Musa Asy’ari mengatakan
bahwa pengertian manusia yang disebut insan, yang dalam al-Qur’an
dipakai untuk menunjukkan lapangan kegiatan manusia yang amat luas adalah
terletak pada kemampuan menggunakan akalnya dan mewujudkan pengetahuan
konseptualnya dalam kehidupan konkret. Hal demikian berbeda dengan kata basyar
yang digunakan al-Qur’an untuk menyebut manusia dalam pengertian lahiriahnya
yang membutuhkan makan, minum, pakaian, tempat tinggal, hidup, dan kemudian
mati.
Informasi
mengenai potensi beragama yang dimiliki manusia itu dapat pula dijumpai dalam
ayat artinya sebagai berikut.
“Dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
"Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau
Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di
hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)." (QS. al-A’raf [7]:
72)
Berdasarkan informasi
tersebut terlihat dengan jelas bahwa manusia secara fitri merupakan makhluk
yang memiliki kemampuan untuk beragama. Hal demikian sejalan dengan petunjuk
Nabi dalam salah satu hadisnya yang mengatakan bahwa setiap anak yang
dilahirkan memiliki fitrah (potensi beragama), maka kedua orang tuanyalah yang
menjadikan anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi.
Bukti bahwa
manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi beragama ini dapat dilihat
melalui bukti historis dan antropologis. Melalui bukti-bukti tersebut kita
mengetahui bahwa pada manusia primitif yang kepadanya tidak pernah datang
informasi mengenai Tuhan, ternyata mereka mempercayai adanya Tuhan, sungguhpun
Tuhan yang mereka percayai itu terbatas pada daya khayalnya. Misalnya mereka mempertuhankan
pada benda-benda alam yang menimbulkan kesan misterius dan mengagumkan.
Kepercayaan demikian itu selanjutnya disebut agama dinamisme.
Selanjutnya kekuatan misterius tersebut mereka ganti istilahnya dengan ruh atau
jiwa yang memiliki karakter dan kecenderungan baik dan buruk dan kemudian
mereka disebut agama animisme. Ruh dan jiwa itu selanjutnya mereka
personifikasikan dalam bentuk dewa yang jumlahnya banyak dan selanjutnya
disebut agama politeisme. Kenyataan ini menunjukkan bahwa manusia memiliki
potensi bertuhan. Namun karena potensi tersebut tidak diarahkan, maka mengambil
bentuk bermacam-macam yang keadaannya serba relatif. Dalam keadaan demikian
itulah para Nabi diutus kepada mereka untuk menginformasikan bahwa Tuhan yang
mereka cari itu adalah Allah yang memiliki sifat-sifat sebagaimana juga
dinyatakan dalam agama yang disampaikan para Nabi. Untuk itu, maka jika
seseorang ingin mendapatkan keagamaan yang benar haruslah melalui bantuan para
Nabi. Kepada mereka itu, para Nabi menginformsikan bahwa Tuhan yang menciptakan
mereka dan wajib disembah adalah Allah. Dengan demikian sebutan Allah bagi
Tuhan, bukan hasil khayalan manusia, dan bukan pula hasil seminar, penelitian
dan sebagainya. Sebutan atau nama Allah bagi Tuhan adalah disampaikan oleh Tuhan
sendiri.
Informasi
lainnya yang menunjukkan bahwa manusia memiliki potensi beragama dikemukakan
oleh Carld Gustave Jung. Jung percaya bahwa agama termasuk hal-hal yang memang
sudah ada di dalam bawah sadar secara fitri dan alami. Selanjutnya Einstein
menyatkan adanya bermacam-macam kejiwaan yang telah menyebabkan pertumbuhan
agama.Demikian pula bermacam-macam faktor telah mendorong berbagai kelompok
manusia untuk berpegang teguh pada agama.
Adanya naluri
beragama (bertuhan) tersebut lebih lanjut dapat semakin diperjelas jika kita
mengakaji bidang tasawuf. Ketika kita mengkaji pahama hulul dari
al-Hallaj (858-922 M.) misalnya kita jumpai pendapatnya bahwa pada diri manusia
terdapat sifat dasar ke-Tuhanan yang disebut Lahut, dan sifat dasar
kemanusiaan yang disebut Nasut. Demikian pula pada diri Tuhanpun
terdapat sifat Lahut dan Nasut. Sifat Lahut Tuhan mengacau
pada zat-Nya, sedangkan sifat Nasut Tuhan mengacu pada sifat-Nya.
Semesntara itu sifat Nasut manusia mengacu kepada unsur lahiriah dan
fisik manusia, sedangkan sifat Lahut manusia mengacu pada unsur batiniah
dan ilahiah. Jika manusia mampu meredam sifat Nasutnya maka yang nampak
adalah sifat Lahutnya. Dalam keadaan demikian terjadilah pertemuan
antara Nasut Tuhan dengan Lahut manusia, dan inilah yang
dinamakan hulul.
Melalui uraian
tersebut sampailah pada kesimpulan, bahwa latar belakang perlunya manusia pada
agama adalah karena dalam diri manusia sudah terdapat potensi untuk beragama. Potensi
beragama ini memerlukan pembinaan, pengarahan, dan pengembangan, dan seterusnya
dengan cara mengenalkan agama kepadanya.
b. Kelemahan dan Kekurangan Manusia
Faktor lainnya yang melatarbelakangi
manusia memerlukan agama adalah karena disamping manusia memiliki berbagai
kesempurnaan juga memiliki kekurangan. Hal ini antara lain diungkapkan oleh
kata al-nafs. Menurut Quraish Shihab, bahwa dalam pandangan al-Qur’an,
nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna untuk berfungsi menampung serta mendorong
manusia berbuat kebaikan dan keburukan, dan karena itu sisi dalam manusia
inilah yang oleh al-Qur’an dianjurkan untuk diberi perhatian lebih besar.
Misalnya disebutkan dalam al-Qur’an:
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” (QS. al-Syams
[91]: 7-8)
Menurut Quraish Shihab bahwa kata
mengilhamkan berarti potensi agar manusia melalui nafs menangkap makna baik dan
buruk, serta dapat mendorongnya untuk melakukan kebaikan dan keburukan. Disini
antara lain terlihat perbedaan pengertian kata ini menurut al-Qur’an dengan
terminologi kaum Sufi, yang oleh al-Qusyairi dalam risalahnya dinyatakan bahwa
nafs dalam pengertian sufi adalah sesuatu yang melahirkan sifat tercela dan
perilaku buruk. Pengertian kaum Sufi tentang nafs ini sama dengan yang terdapat
dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang antara lain menjelaaskan bahwa nafs
adalah dorongan hati yang kuat untuk berbuat yang kurang baik.
Selanjutnya Quraish Shihab mengatakan,
walaupun al-Qur’an menegaskan bahwa nafs berpotensi positif dan negatif, namun
diperoleh pula isyarat bahwa pada hakikatnya potensi positif manusia lebih kuat
daripada potensi negatifnya, hanya saja daya tarik keburukan lebih kuat
daripada daya tarik kebaikan. Sifat-sifat yang cenderung kepada keburukan yang
ada pada manusia itu antara lain berlaku dzalim (aniaya), dalam keadaan susah
payah (fi kabad), suka melampaui batas (anid), sombong(kubbar), inkar dan
sebagainya. Karena itu manusia dituntut agar memelihara kesucian nafs ini
manusia harus selalu mendekatkan diri pada Tuhan dengan bimbingan agama, dan di
sinilah letaknya kebutuhan manusia terhadap agama.
Dalam literatur teologi Islam
misalnya kita jumpai pandangan kaum Mu’tazilah yang rasionalis, karena banyak
menadahulukan pendapat akal dalam memperkuat argumentasinya daripada pendapat
wahyu. Namun demikian mereka sepakat bahwa manusia dengan akalnya memiliki
kelemahan. Akal memang dapat mengetahui yang baik dan buruk, tetapi tidak semua
yang baik dan buruk dapat diketahui akal. Dalam hubungan inilah, maka kaum
Mu’tazilah mewajibkan pada Tuhan agar menurunkan wahyu dengan tujuan agar
kekurangan yang dimiliki akal dapat dilengkapi dengan informasi yang datang
dari wahyu (agama). Dengan demikian, Mu’tazilsh secara tidak langsung memandang
bahwa manusia memerlukan wahyu.
c. Tantangan Manusia
Faktor lain yang menyebabkan manusia
memerlukan agama adalah karena manusia dalam kehidupannya senantiasa menghadapi
berbagai tantangan, baik yang datang dari dalam maupun dari luar. Tantangan
dari dalam dapat berupa dorongan hawa nafsu dan bisikan setan (Lihat QS. 12:5;
17:53). Sedangkan tantangan dari luar dapat berupa rekayaa dan upaya-upaya yang
dilakukan manusia yang secara sengaja berupaya ingin memalingkan manusia dari
Tuhan. Mereka dengan rela mengeluarkan biaya, tenaga, dan pikiran yang
dimanifestasikan dalam berbagai bentuk kebudayaan yang di dalamnya mengandung
misi menjauhkan manusia dari Tuhan. Misalnya dalam QS. al-Anfal[8]:36
menjelaskan:
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir menafkahkan harta
mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah.”
Orang-orang kafir itu sengaja
mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk mereka gunankan agar orang
menngikuti keinginannya. Berbagai bentuk budaya, hiburan, obat-obat terlarang
dan lain sebagainya dibuat dengan sengaja. Untuk itu maka upaya mengatasi dan
membentengi manusia adalah dengan mengajar mereka agar taat menjalankan agama.
Godaan dan tantangan hidup demikian itu, saat ini semakin menigkat, sehingga
upaya mengagamakan masyarakat menjadi penting.
Jawaban Agama-Agama Besar Dunia Terhadap Persoalan Kemanusiaan
Apakah bisa kita katakan bahwa pengalihan perhatian sebagian sarjana pada agama
di luar agama resmi, seperti munculnya agama sipil (civil religion), merupakan cerminan adanya krisis pada agama?
Apakah agama resmi yang ada sudah tidak mampu lagi memberikan rumusan jawaban
bagi persoalan kemanusiaan seperti konflik agama, peperangan, klaim
eksklusifisme kelompok, terorisme, kenakalan remaja atau juga masalah korupsi?
Apakah adanya krisis agama lalu manusia memerlukan agama yang sama sekali baru,
atau perlu adareinterpretasi ajaran agar bisa lebih membumi dan menzaman sesuai
tuntutan manusia modern? Benarkah kata Durkheim bahwa “Tuhan yang dulu telah
mati” yang beerarti mengisyaratkan perlu dicarikannya Tuhan baru?
Pernyataan-pernyataan tersebut memerlukan perenungan mendalam dan uraian
panjang guna menjabarkan jawabannya.
Tetapi satu hal yang perlu dicatat, bahwa manusia harus memiliki pegangan hidup
untuk menghadapi tantangan keras kehidupan yang muncul silih berganti
mengganggu keyakinan dan keimanan mereka. Salah satu pegangan hidup itu adalah
ajaran agama yang telah dibawa oleh para Nabi di berbagai periode zaman dan
tempat. Selain membawa misi ilahiah, mereka juga membawa misi keselamatan,
perdamaian dan persaudaraan.
Agama-agama mengajarkan bahwa dalam kehidupan ini ada dua realitas yang secara
ontologis berbeda, yakni, pertama
adalah yang ilahi, absolut, kekal, mencita dan memerintah, dan kedua adalah yang material, manusiawi,
diciptakan, tidak kekal dan tunduk pada perintah ilahhi. Realitas ini
mengandaikan suatu kemutlakan hubungan antara realitas yang pertama dan
realitas yang kedua sebagai sesuatu yang lumrah, apa adanya dan tak
terhindarkan. Apa yang dikehendaki oleh Tuhan sang pencipta harus dilakukan
oleh manusia sebagai makhluk-Nya. Tuhan menciptakan makhluk-Nya agar
makhluk-Nya patuh kepada-Nya. Manusia diciptakan untuk tujuan ini, yakni
mengabdi kepada Tuhan dan memuja-Nya. Inilah prinsip monoteistik: pengabdian semata-mata pada satu Tuhan oleh
makhluk-Nya.
Dengan konsep monoteistik ini, manusia harus belajar dari sejarah agama yahudi
yang mengajarkan bahwa semua umat manusia memiliki kewarganegaraan sama di bawah
hukum Ilahi, dan diumumkan secara resmi oleh raja negara-dunia, Hammurabi.
Dngan ajaran ini, manusia pada hakikatnya adalah sama di mata Tuhan. Kekayaan,
kebudayaan, bahasa, dan tradisi yang dimiliki segolongan tertentu manusia
hanyalah pemanis hidup belaka, matapi hal terpenting adalah ketertarikannya
secara ikhlas kepada Tuhannya.
Sekiranya
ajaran ini dapat menjadi sumber inspirasi hidup bagi setiap umat manusia,
niscaya tak ada klaim-klaim golongan siapa yang paling hebat, kelompok mana
yang paling maju, negara mana yang paling adidaya dan semua itu pada akhirnya
hanya melahirkan pertentangan, peperangan, dan konflik. Karena dimata Tuhan
semuanya adalah sama, yang berbeda adalah siapa yang paling tunduk, patuh dan
berserah diri pada hukum-Nya. Seandainya ajaran monoteistik ini bisa meresap
pada sanubari setiap manusia, maka prinsip kesetaraan (egalitarianisme) akan
terwujud.
Islam
memang sedari awal Nabi Muhammad SAW sebagai ajaran pembawa Islam telah
mendeklarasikan dirinya sebagai utusan Allah SWT untuk misi etis-keagamaan (inni buistu li utammima makaarima al-akhlaaq;
aku diutus untuk menyempurnakan moral manusia). Misi etis-keagamaan
mengisyaratkan bahwa perilaku kita sebagai manusia harus merefleksikan
sifat-sifat ke-Ilahi-an dalam menjalani pergaulan hidup antar umat manusia.
Begitulah Nabi Muhammad SAW memberi petunjuk “berakhlaklah kamu dengan akhlak
Allah” (takhallaquu bi akhlaaqillaah),
yaitu kita dianjurkan “meniru” sifat-sifat Allah.
BAB III.
Kesimpulan
Beragama merupakan fitrah manusia. Agama muncul dan berkembang seiring dengan
perkembangannya sejarah manusia. Kepercayaan manusia terhadap Tuhan bukanlah
sifat lemah sebagaimana dituduhkan oleh paham matrealisme. Namun justru
kebutuhan hakiki dan sumber kekuatan dalam menjalani kehidupan.
Konsep manusia menurut agama sangat berbeda dengan konsep manusia modern. Agama
mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh Tuhan. Ia berasal
dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya. Manusia terdiri dari aspek fisik dan
aspek batin (ruh/jiwa) yang masing-masing kebutuhannya harus tercukupi.
Mengabaikan salah satunya akan membuat manusia terasing dan mengalami kehampaan
hidup.
Menurut agama Islam, manusia adalah makhluk yang mulia. Manusialah satu-satunya
makhluk Allah SWT yang ditunjuk sebagai wakil-Nya. (khalifah) di muka bumi. Untuk tugas ini, manusia diberi akal, satu
kelebihan yang tak diberikan Allah kepada makhluk lain. Manusia yang baik
adalah mereka yang mempu menjalankan tugas ini dengan baik. mereka adalah
hamba-hamba yang taat kepada-Nya, menjalankan perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya. Mereka adalah hamba-hamba yang senantiasa memenuhi kewajiban
kepada Allah dan kepada sesama.
BAB IV.
Daftar Pustaka
1. Peter L.
Berger. 1994. Langit Suci: Agama sebagai
Realitas Sosial, Jakarta: LP3ES, cet. 2.
2. Daniel L. Pals.
1996. Seven Theories og Religion,
Jakarta: Qalam, h.279.
3. Kautsar Azhari
Noer, “Tradisi Monoteistik”, dalam
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Hoeve, tt, h. 52.
4. Burhanudin
Daya. 1988. “Agama Yahudi” dalam
Djam’annuri (ed.), Agama-Agama di DuniaYogyakarta: PT Hanindita, h. 296.
5. Huston Smith, Agama-Agama Manusia, Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, h. 311.
6.
M. Quraish Shihab. 1996.Wawasan
al-Qur’an, Bandung: Mizan, h. 280.
7. Razak Yusron,
dan Tohirin. 2011.Pendidikan Agama Untuk
Perguruan Tinggi dan Umum. Jakarta: Uhamka Press
8. Sri Wulandari
(2012). Sejarah Agama dan Konsep Manusia.
From http://sriwulandari723.blogspot.com/2012/01/konsep-manusia-dalam-agama.html,
9 Oktober 2013.
9. Uyyun Amila
Faljariyanti (2011). Jawaban Agama-Agama
atas Persoalan Manusia Modern. From http://uyyunamila.blogspot.com/search/label/Agama%20Islam,
9 Oktober 2013.
10.
Ridhol Hudaa (2012). Kebutuhan
Manusia Terhadap Agama. From http://yuksmile.blogspot.com/2012/04/kebutuhan-manusia-terhadap-agama.html,
9 Oktober 2013.
11.
Bayu Trisusilo (2013). Kebutuhan
Manusia Terhadap Agama. From http://anakstain.blogspot.com/2013/05/kebutuhan-manusia-terhadap-agama.html,
9 Oktober 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar